Minggu, 30 September 2012

BULETIN JUMAT EDISI 28 SEPTEMBER 2012

Mengukuhkan Kembali Makna Ahlussunnah Wal Jamaah
Oleh: Suparman AL Fayyadh, M.Hi

“Dari `Abdullah bin `Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab,“(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku.” (HR. al-Tirmidzi, 2565)

Al Firqoh an Najiyah
Hadits riwayat Imam Tirmidzi tersebut adalah dasar tentang keabsahan aqidah ahlussunnah wal jamaah. Nabi Muhammad SAW sudah mengetahui umatnya akan terpecah menjadi banyak golongan. Dan di antara banyak kelompok tersebut, yang kelak di akhirat menjadi kelompok yang selamat (al firqoh an najiyah) hanya golongan yang mengikuti Nabi SAW dan para sahabatnya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahlussunnah wal jamaah.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa Hadits tersebut dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi SAW. Syaikh Ja’far Al Hasani al Idrisi Al Kattani  menjelaskan,  bahwa Hadits yang menjelaskan sabda Nabi SAW tentang umatnya yang akan terpecah  menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan  tujuh puluh dua masuk neraka dapat dipertanggung jawabkan. Diriwayatkan dari Amiril Mukmin ‘Ali bin Abi Thalib RA, Sa’d bin Abi Waqqosh, Ibn ‘Umar, Abi al-Darda’, Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, ‘Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzanni. (al-Nadzm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, 58.)
Selain Hadits ini, ada ungkapan lain yang diklaim oleh sebagian Ulama sebagai Hadits, yang seakan-akan bertentangan dengan Hadits al firqoh an najiyah ini, yakni ungkapan yang menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat.“ikhtilafu ummati rohmatun” (perbedaan umatku adalah rahmat). Bahwa semua perbedaan itu adalah rahmat, tidak ada yang salah atau saling menyalahkan.
Ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah perbedaan yang menjadi rahmat itu adalah jika terjadi dalam ranah furu’ (cabang atau fiqh), dan yang dimaksud dengan “Ummati” adalah Hadist itu adalah “para Ulama” seperti fardhu dan yang membatalkan wudhu’, rukun, sunnah dan yang membatalkan shalat, syarat puasa dan semacamnya. Dalam konteks ini Al-Manawi menjelaskan:
Jika engkau melihat seorang ahli fiqh, berpendapat tidak sesuai dengan Hadits, menolak hadits atau merubah maksud Hadits, maka janganlah engkau terburu-buru menyalahkannya. Sayyidina Ali RA pernah berkata kepada seseorang, “Apakah engkau menyangka bahwa Tolhah RA dan Zubair (tokoh utama dalam perang Jamal) telah berbuat bathil? Maka janganlah bersikap  seperti itu karena itu akan membahayakanmu. Kebenaran itu tidak bisa dipastikan ada pada diri seseorang. Tetapi kenalilah kebanaran itu (dengan melihat dalil), engkau pasti akan mengetahui siapa yang benar” (Faidhul Qodir, juz 1 hal 271)
Sedangkan Hadits tentang Firqoh  Najiyah itu berbicara dalam konteks ushuluddin (inti agama), tentang Allah SWT, Malaikat, Rasul, kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan semacamnya. Di sinilah kita bisa menilai salah dan benar, dengan tetap berpedoman kepada dalil-dalil yang jelas. Dan disini pula ajaran Ahlussunnah wal Jamaah harus diyakini sebagai satu-satunya ajaran Islam yang benar. Lebih lanjut Syaikh al Manawai menjelaskan:
“Larangan itu adalah khusus pada perbedaan dalam masalah ushul, bukan pada furu’. Imam Subki mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa perbedaan dalam masalah ushul akan menyebabkan kesesatan dan menjadi sebab  semua kerusakan”(Faidhul Qodir, juz 1 hal 270)
Makna Ahlussunnah
Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan penggabugan dari tiga kata, yakni ahlun (Kelompok, pengikut), sunnah (Nabi Muhammad SAW) dan jama’ah (kelompok sahabat Nabi Muhammad SAW).
Dari sini, dapat dipahami bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti semua yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan serta sahabatnya. Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad menyatakan:

Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya” (Risalah al-Mu’awanah, 9)

Mengikuti Nabi Muhammad SAW artinya meyakini dan mengamalkan semua yang telah beliau diajarkan, berupa sabda, perbuatan dan pengakuan Nabi SAW. Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan teladan terbaik, mulai dari persoalan hukum, prinsip-prinsip dasar dalam beragama, strategi dakwah yang dijalankan, hingga akhlaq Rasul SAW dalam kehidupan sehari-hari. Juga meyakini apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah benar. Misalnya tentang siksa kubur, hari kiamat, surga, neraka dan sebagainya.
Mengikuti Nabi SAW adalah menjadikan al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi sebagai pedoman utama dalam segala bidang kehidupan, karena kedua sumber itu adalah pusaka peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk semua umatnya. Mempelajari dan memahami Al Quran dan Hadits secara langsung atau melalui perantara para ulama yang memiliki kemampuan tersebut, untuk kemudian diamalkan dalam setiap tingkah dan laku setiap muslim.
Ulama Ushul fiqh menegaskan bahwa  dalam hal memahami dan mengamalkan dua pusaka Nabi SAW tersebut, manusia terbagi menjadi dua. Ada yang masuk pada kategori Mujtahid dalam arti mampu memahami secara lansung ayat-ayat yang terdapat di dalam al Qur’an, dan ada pula yang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut akibat keterbatasan ilmu dan metoder yang dimiliki. Untuk kelompok yang kedua ini mereka wajib mengamalkan isi al Quran dan hadits dengan bertaqlid mengikuti ulama-ulama yang telah memiliki kemampuan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT (QS. Al-Anbiya’ 7), “Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al-Kawkab al-Sâthi‘ fî Nazhm Jam’ al-Jawâmi‘, 492).
Maka dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa orang-orang yang mengikuti (taqlid) kepada pendapat para Ulama ahli Fiqh, tafsir, hadits dan semacamnya, bukan berarti tidak mengikuti al Quran dan Hadits, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sadar akan kemampuan dirinya, yang tidak memiliki kelayakan untuk memahami peninggalan Nabi tersebut secara langsung. Jalan paling selamat dan bijak yang dipilih adalah mengamalkan al Quran dan Hadits dengan mengikuti pendapat Ulama yang kualitas keilmuannya telah diakui, yang telah tertuang secara lengkap di dalam madzhab Fiqh, kitab-kitab Tafsir dan syarh Hadits dan semacamnya, sebaliknya, sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai perangkat-perangkat untuk melakukan pemahaman secara langsung,  misalnya penguasaan bahasa Arab dengan baik, kaidah-kaidah, ushul fiqh, tafsir dan semacamnya,  sudah merasa tidak perlu untuk mengikuti pendapat ulama. Padahal sebenarnya, tanpa disadari dia sedang  ber-taqlid  buta kepada penterjemah buku tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi hasil terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah. (Fiqh Tradisionalis, hal 38)
2. Mengikuti Sahabat Nabi SAW
Menjadi pengikut sahabat Nabi SAW bisa berarti, pertama, mengikuti beberapa hal yang telah disepakati para sahabat (Ijma’ sahabat), walaupun tidak dicontohkan secara jelas oleh Rasul SAW. Juga meneladani akhlaq dan perjuangan sahabat nabi Muhammad SAW. berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
Dari Abdurrahman bin Amr as-Sulamy, sesungguhnya ia mendengar Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah SAW memberikan wejangan kepada kami, “Maka kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan Sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun (sahabat yang empat yang terpilih) yang mendapatkan petunjuk dari Tuhannya” (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, 16519)
Di antara persoalan hukum yang pernah diputuskan pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun  sahabat adalah; mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, Shalat Tarawih secara berjamaah sebulan penuh pada bulan Ramadhan, adzan dua kali pada hari jum’at dan lain sebagainya.
Ini artinya, sebagai konsekwensi dari komitmen mengikuti sabahat nabi adalah, bahwa selain al Quran dan hadits sebagai pedoman, ada ”pusaka” lain yang dijadikan panduan untuk lebih menyempurnakan semua yang telah digariskan dan ditelandan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni teladan serta peninggalan dari para sahabat Nabi SAW sebagai pemegang tongkat estafet pertama ajaran Islam.
Konsekwensi kedua dari komitmen mengikuti sahabat Nabi SAW adalah memberikan penghormatan kepada sahabat Nabi SAW sebagai orang-orang yang mulia. Tidak menghina, merendahkan melecehkan apalagi mengkafirkan mereka. Sebagai manusia biasa, para sahabat juga punya kekurangan serta bisa berbuat salah, akan tetapi noda tersebut terhapus oleh kemulian, jasa dan amal ibadah yang mereka lakukan.
Para sahabat adalah orang-orang yang bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Ikut berperang bertaruh harta bahkan nyawa dan jiwa demi keagungan Islam. Maka wajar jika Allah SWT memberikan pujian dan ridho serta menjanjikan kebahagiaan surga bagi mereka. Firman Allah SWT:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. Al-Taubah, 100)


Rabu, 02 Mei 2012


AGAMA MADANI  BUKAN  AGAMA MEDDENI 
Ust. Ach. Hefni Zain


I
Ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama masih saja terjadi. Agama, yang semestinya bersemangat menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara lain, pertama ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain sebagai sesat dan berbahaya yang harus dimusnahkan, kedua, Sikap apriori dan praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Ketiga, kegagalan penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Keempat, faktor ketidak adilan dan profokasi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi pada terabaikannya  misi agama untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan  diantara penganut agama, bahkan sebaliknya faktor-faktor diatas justru menjadi embrio bagi munculnya benih-benih kebencian diantara umat beragama, yang pada gilirannya berdampak pada disharmonisasi hubungan antar umat beragama.  Wilayah agama memang merupakan wilayah yang paling sensitif sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup, spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti Indoensia. Agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu (uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah gunakan sebagai alat  pemisah dan pemecah belah. (deviding dan devising factor).  
Di Indonesia, sesungguhnya secara yuridis undang-undang yang melindungi kebebasan beragama telah ada sejak lama, tetapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda paham. Tapi, penyerangan itu tetap terjadi,”Itu semua karena pemerintah tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

II
Untuk kasus di Indonesia, sebagian pihak menuding bahwa Islam fiqhi dan Islam siyasi memiliki peran terhadap embrio munculnya kekerasan bernuansa agama. Bagi Islam fiqhi yang kurang faham akan fiqh ikhtilaf memang cenderung fanatik dan hitam putih. Pada umumnya mereka hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,”. Kondisi ini jauh berbeda dengan perilaku para fuqaha pada abad ke 2 hijriyah, sebut saja Imam al-Syafi'i, al-Auza'i di kawasan Syam Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, Malik bin Anas di Madinah, dan Ahmad bin Hambal di Baghdad. Bagi mereka Li Kulli Ro'sin Ro'yun. Lain kepala lain pendapat, karenanya fenomena beda pemahaman adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam koleksi fatwanya (majmu' fatawa) mengatakan, monvonis kafir kepada seorang muslim itu dilarang, baik disebabkan kriminalitas yang diperbuat, atau kesalahan yang dilakukannya, selama masih dalam koridor beda pendapat hukum antar umat Islam.  Masalahnya, maukah kita mengkritisi diri sendiri, berlapang dada dan bisa mengambil faidah keilmuan dari orang lain?
Setelah itu berkembang Islam siyasi atau Islam politik yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, kelompok ini memandang perlunya perjuangan merebut kekuasaan untuk menegakkan negara Islam, dan syariat Islam, mereka menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya, seperti berbuat adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif tanpa back up kekuasaan dan pemerintahan, bahkan lebih tegas dikatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard” (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah dimuka bumi). Oleh karena itu, mengakkan negara Islam merupakan kewajiban agama yang paling besar. Hal itu dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Mereka menyitir firman Allah “Barang siapa menegakkan dan memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44). Menurut kelompok ini negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 : 25). Dari faham yang demikian, segera memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen, disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegemonik baru.

III
Dari Islam fiqhi dan Islam siyasi mestinya mengantarkan kita pada Islam madani, dimana semua agama bisa bertemu, mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika Islam fiqhi itu berkutat pada urusan fiqh dan Islam siyasi pada politik, maka Islam madani berpusat pada karakter dan akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Bagi Islam Madani, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya. Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Bagi model ini, semua model pemahaman ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.
Misi utama Islam madani adalah terwujudnya persatuan dalam keragaman, sebab persatuan merupakan langkah awal menuju kejayaan umat.  Dr M. Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Siroh nya menjelaskan bahwa tidak ada satu negarapun yang bangkit dan maju tanpa berasaskan kesatuan umat dan saling bekerjasama.  Selanjutnya, kata dia,  kebersamaan dan kesatuan itu tidak dapat dicapai kecuali dimulai oleh dorongan kecintaan antar sesama.
Kini, Islam siyasi tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus. Islam fiqhi juga masih bertahan dan eksis lewat  organisasi keagamaan.  Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi madani dalam kehidupan global. Paham madani juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.
Kegagalan penganut agama memahami secara konprehensip prinsip-prinsip asasi agamanya kadang berawal dari sini, sehingga mereka hanya memperoleh pemahaman parsial.  Padahal pemahaman parsial atas agama sering menjadikan peran agama bergeser dari fungsinya membela kaum lemah menjadi elitis, agama telah menjadi alat dan justifikasi bagi pihak pihak tertentu untuk bertindak kejam pada sejumlah komunitas masyarakat yang lain, ditangan mereka, agama telah dikurung dalam ruang teologis yang kering dan hampa, ditangan mereka agama kini sama sekali tidak menyentuh realitas, ia hanya menjadi berhala yang menina bobokkan rakyat tak berdaya, agama semakin berdiri di pentas megah dan menjadi fetishisme, ritual agama juga digencarkan seakan akan menjadi tempat singgah Tuhan untuk memberikan solusi  atas semua masalah publik  sehingga membuat banyak orang terbius.
Nah untuk menyudahi peran naif agama kita perlu mendekatkannya pada sengketa sosial. Ibadah agama tidak sekedar sholat, tetapi juga perlu melakukan ibadah advokasi, pembelaan serta ibadah melawan ketidak adilan. Tuhan rasanya setuju jika agama tidak diparkir hanya untuk memuji-mujiNya, tetapi juga bertindak untuk membela umatnya yang lemah.
Maka agama madani menjadi relevan dikembangkan di Indonesia, sebab model ini dapat menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan kita,” dari sini Agama diharapkan dapat mewujudkan masyarakat madani dan bukan meddeni masyarakat.   Edisi  Mei  2012