Mengukuhkan Kembali Makna
Ahlussunnah Wal Jamaah
Oleh: Suparman AL Fayyadh, M.Hi
“Dari `Abdullah bin `Amr, ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah
menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?” Nabi SAW
menjawab,“(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua
perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh
sahabat-sahabatku.” (HR. al-Tirmidzi,
2565)
Al Firqoh an Najiyah
Hadits riwayat
Imam Tirmidzi tersebut adalah dasar tentang keabsahan aqidah ahlussunnah wal
jamaah. Nabi Muhammad SAW sudah mengetahui umatnya akan terpecah menjadi banyak
golongan. Dan di antara banyak kelompok tersebut, yang kelak di akhirat menjadi
kelompok yang selamat (al firqoh an najiyah) hanya golongan yang
mengikuti Nabi SAW dan para sahabatnya atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Ahlussunnah wal jamaah.
Mayoritas ulama menyatakan
bahwa Hadits tersebut dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak
sahabat Nabi SAW. Syaikh Ja’far Al Hasani al Idrisi Al Kattani menjelaskan,
bahwa Hadits yang menjelaskan sabda Nabi SAW tentang umatnya yang akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, satu di surga dan tujuh puluh
dua masuk neraka dapat dipertanggung jawabkan. Diriwayatkan dari Amiril Mukmin
‘Ali bin Abi Thalib RA, Sa’d bin Abi Waqqosh, Ibn ‘Umar, Abi al-Darda’,
Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, ‘Awf bin Malik dan Amr bin
Awf al-Muzanni. (al-Nadzm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, 58.)
Selain Hadits ini,
ada ungkapan lain yang diklaim oleh sebagian Ulama sebagai Hadits, yang seakan-akan
bertentangan dengan Hadits al firqoh an najiyah
ini, yakni ungkapan yang menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat.“ikhtilafu ummati rohmatun” (perbedaan umatku adalah rahmat). Bahwa semua perbedaan itu adalah
rahmat, tidak ada yang salah atau saling menyalahkan.
Ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
perbedaan yang menjadi rahmat itu adalah jika terjadi dalam ranah furu’ (cabang atau fiqh), dan yang
dimaksud dengan “Ummati” adalah Hadist itu adalah “para Ulama” seperti fardhu
dan yang membatalkan wudhu’, rukun, sunnah dan yang membatalkan shalat, syarat
puasa dan semacamnya. Dalam konteks ini Al-Manawi menjelaskan:
Jika engkau melihat seorang ahli fiqh, berpendapat tidak sesuai dengan
Hadits, menolak hadits atau merubah maksud Hadits, maka janganlah engkau
terburu-buru menyalahkannya. Sayyidina Ali RA pernah berkata kepada seseorang,
“Apakah engkau menyangka bahwa Tolhah RA dan Zubair (tokoh utama dalam perang Jamal)
telah berbuat bathil? Maka janganlah
bersikap seperti itu karena itu akan
membahayakanmu. Kebenaran itu tidak bisa dipastikan ada pada diri seseorang.
Tetapi kenalilah kebanaran itu (dengan melihat dalil), engkau pasti akan
mengetahui siapa yang benar” (Faidhul Qodir, juz 1 hal 271)
Sedangkan Hadits tentang Firqoh
Najiyah itu berbicara dalam konteks ushuluddin (inti agama), tentang Allah SWT, Malaikat, Rasul,
kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan semacamnya. Di sinilah kita
bisa menilai salah dan benar, dengan tetap berpedoman kepada dalil-dalil yang
jelas. Dan disini pula ajaran Ahlussunnah wal Jamaah harus diyakini sebagai satu-satunya
ajaran Islam yang benar. Lebih lanjut Syaikh al Manawai menjelaskan:
“Larangan itu adalah khusus pada perbedaan dalam masalah ushul, bukan
pada furu’. Imam Subki mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa perbedaan dalam
masalah ushul akan menyebabkan kesesatan dan menjadi sebab semua kerusakan”(Faidhul Qodir, juz 1 hal
270)
Makna Ahlussunnah
Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah
merupakan penggabugan dari tiga kata, yakni ahlun
(Kelompok, pengikut), sunnah (Nabi Muhammad SAW) dan jama’ah (kelompok sahabat
Nabi Muhammad SAW).
Dari sini, dapat dipahami
bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti semua yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW dan serta sahabatnya. Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad
menyatakan:
“Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya” (Risalah al-Mu’awanah, 9)
Mengikuti Nabi Muhammad SAW artinya meyakini
dan mengamalkan semua yang telah beliau diajarkan, berupa sabda, perbuatan dan
pengakuan Nabi SAW. Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan teladan
terbaik, mulai dari persoalan hukum, prinsip-prinsip dasar dalam beragama,
strategi dakwah yang dijalankan, hingga akhlaq Rasul SAW dalam kehidupan
sehari-hari. Juga meyakini apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW adalah benar. Misalnya tentang siksa
kubur, hari kiamat, surga, neraka dan sebagainya.
Mengikuti Nabi SAW adalah menjadikan al-Qur’an
dan Al-Hadits Nabi sebagai pedoman utama dalam segala bidang kehidupan, karena
kedua sumber itu adalah pusaka peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk semua
umatnya. Mempelajari dan memahami Al Quran dan Hadits secara langsung atau
melalui perantara para ulama yang memiliki kemampuan tersebut, untuk kemudian diamalkan
dalam setiap tingkah dan laku setiap muslim.
Ulama
Ushul fiqh menegaskan bahwa dalam hal memahami dan mengamalkan dua pusaka Nabi SAW tersebut, manusia
terbagi menjadi dua. Ada yang masuk pada kategori Mujtahid dalam arti mampu
memahami secara lansung ayat-ayat yang terdapat di dalam al Qur’an, dan ada pula
yang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut akibat keterbatasan ilmu dan
metoder yang dimiliki. Untuk kelompok yang kedua ini mereka wajib mengamalkan
isi al Quran dan hadits dengan bertaqlid mengikuti ulama-ulama yang telah
memiliki kemampuan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT (QS.
Al-Anbiya’ 7), “Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli (dalam bidangnya) jika
kalian tidak tahu.” (Al-Kawkab al-Sâthi‘ fî Nazhm Jam’ al-Jawâmi‘, 492).
Maka dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa orang-orang yang mengikuti (taqlid)
kepada pendapat para Ulama ahli Fiqh, tafsir, hadits dan semacamnya, bukan
berarti tidak mengikuti al Quran dan Hadits, akan tetapi mereka adalah
orang-orang yang sadar akan kemampuan dirinya, yang tidak memiliki kelayakan
untuk memahami peninggalan Nabi tersebut secara langsung. Jalan paling selamat dan
bijak yang dipilih adalah mengamalkan al Quran dan Hadits dengan mengikuti
pendapat Ulama yang kualitas keilmuannya telah diakui, yang telah tertuang
secara lengkap di dalam madzhab Fiqh, kitab-kitab Tafsir dan syarh Hadits dan
semacamnya, sebaliknya, sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an
dan al-Hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai perangkat-perangkat
untuk melakukan pemahaman secara langsung,
misalnya penguasaan bahasa Arab dengan baik, kaidah-kaidah, ushul fiqh,
tafsir dan semacamnya, sudah merasa tidak
perlu untuk mengikuti pendapat ulama. Padahal
sebenarnya, tanpa disadari dia sedang
ber-taqlid buta kepada
penterjemah buku tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi hasil
terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah. (Fiqh Tradisionalis, hal
38)
2.
Mengikuti Sahabat Nabi SAW
Menjadi pengikut sahabat Nabi
SAW bisa berarti, pertama, mengikuti beberapa hal yang telah disepakati
para sahabat (Ijma’ sahabat), walaupun tidak dicontohkan secara jelas oleh
Rasul SAW. Juga meneladani akhlaq dan perjuangan sahabat nabi Muhammad SAW. berdasarkan
sabda Nabi Muhammad SAW:
Dari Abdurrahman bin Amr
as-Sulamy, sesungguhnya ia mendengar Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah SAW
memberikan wejangan kepada kami, “Maka kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku
ajarkan) dan Sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun (sahabat yang empat yang terpilih)
yang mendapatkan petunjuk dari Tuhannya” (Musnad
Ahmad Ibn Hanbal, 16519)
Di antara persoalan hukum
yang pernah diputuskan pada masa al-Khulafa’
al-Rasyidun sahabat adalah; mengumpulkan
al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, Shalat
Tarawih secara berjamaah sebulan penuh pada bulan Ramadhan, adzan dua kali pada hari jum’at dan lain sebagainya.
Ini artinya, sebagai
konsekwensi dari komitmen mengikuti sabahat nabi adalah, bahwa selain al Quran
dan hadits sebagai pedoman, ada ”pusaka” lain yang dijadikan panduan untuk lebih
menyempurnakan semua yang telah digariskan dan ditelandan oleh Nabi Muhammad
SAW, yakni teladan serta peninggalan dari para sahabat Nabi SAW sebagai
pemegang tongkat estafet pertama ajaran Islam.
Konsekwensi kedua dari
komitmen mengikuti sahabat Nabi SAW adalah memberikan penghormatan kepada sahabat
Nabi SAW sebagai orang-orang yang mulia. Tidak menghina, merendahkan melecehkan
apalagi mengkafirkan mereka. Sebagai manusia biasa, para sahabat juga punya
kekurangan serta bisa berbuat salah, akan tetapi noda tersebut terhapus oleh kemulian,
jasa dan amal ibadah yang mereka lakukan.
Para sahabat adalah
orang-orang yang bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Ikut berperang
bertaruh harta bahkan nyawa dan jiwa demi keagungan Islam. Maka wajar jika
Allah SWT memberikan pujian dan ridho serta menjanjikan kebahagiaan surga bagi
mereka. Firman Allah SWT:
Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.
Al-Taubah, 100)